Kerajaan Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya;Thai:
ศรีวิชัย atau “Ṣ̄rī wichạy”) adalah salah satu kemaharajaan bahari yang
pernah berdiri di pulau Sumatra dan banyak memberi pengaruh di
Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand
Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa, dan pesisir Kalimantan.
Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti “bercahaya” atau “gemilang”, dan wijaya berarti “kemenangan” atau “kejayaan”, maka nama Sriwijaya bermakna “kemenangan yang gilang-gemilang”.
Bukti
awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang
pendeta Tiongkok, I Thsing menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun
671 dan tinggal selama 6 bulan. Selanjutnya prasasti yang paling tua
mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan
Bukit di Palembang, bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya
terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa
peperangan di antaranya serangan dari raja Dharmawangsa Teguh dari Jawa
di tahun 990, dan tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel,
selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya di bawah kendali kerajaan
Dharmasraya.
Content:
- 2 Pembentukan dan pertumbuhan
- 3 Agama
- 4 Budaya
- 5 Perdagangan
- 6 Hubungan dengan wangsa Sailendra
- 7 Hubungan dengan kekuatan regional
- 8 Masa keemasan
- 9 Masa penurunan
- 10 Struktur pemerintahan
Catatan sejarah
Tidak
terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah
Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana
asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai
Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Ccedes
mempublikasikan penemuannya dalam koran berbahasa Belanda dan Indonesia.
Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap “San-fo-ts’i”,
sebelumnya dibaca “Sribhoja”, dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno
merujuk pada kekaisaran yang sama.
Sriwijaya
menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara
selain Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut
menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa
Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelelum kolonialisme
Belanda. Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa
menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts’i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu.
Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit
ditemukan. Sementara dari peta Ptolomaeus ditemukan keterangan tentang
adanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.
Sekitar
tahun 1993, Piere Y-Phes Manguin melakukan observasi dan berpendapat
bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan
Sabokingking (terletak di provinsi Sumatra Selatan sekarang), tepatnya
di sekitar situs Karanganyar yang kini dijadikan Kerajaan Sriwijaya.
Pendapat ini didasarkan dari foto udara tahun 1984 yang menunjukkan
bahwa situs Karanganyar menampilkan bentuk bangunan air, yaitu jaringan
kanal, parit, kolam serta pulau buatan yang disusun rapi yang dipastikan
situs ini adalah buatan manusia. Bangunan air ini terdiri atas kolam
dan dua pulau berbentuk bujur sangkar dan empat persegi panjang, serta
jaringan kanal dengan luas areal meliputi 20 hektar. Di kawasan ini
ditemukan banyak peninggalan purbakala yang menunjukkan bahwa kawasan
ini pernah menjadi pusat permukiman dan pusat aktifitas manusia. Namun
sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada
kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi
(di provinsi jambi sekarang), dengan catatan Malayu tidak di kawasan
tersebut, jika Malayu pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat
Moens, yang sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat
kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Camdi Muara takus (provinsi Riau
sekarang), dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam catatan I
Thsing, serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang
pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou
(Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara
Takus). Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I
berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).
Pembentukan dan pertumbuhan
Belum
banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan. Kerajaan
ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara maritim, namun
kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan
Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi
Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Beberapa ahli masih memperdebatkan
kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya, selain itu
kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun
kawasan yang menjadi ibukota tetap diperintah secara langsung oleh
penguasa, sedangkan daerah pendukungnya diperintah oleh datu setempat.
Kekaisaran
Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari
prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah
kepemimpinan Dapunta Hyang. Di abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat
bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah
menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Kota Kapur
yang yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini
telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung,
hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah
melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara
di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan
besar akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya tumbuh dan berhasil
mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda,
Laut Cina Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
Ekspansi
kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya
mengontrol dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan
observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan
Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina mulai
mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut,
Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai
di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8
berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas
Kamboja, sampai raja Khner Jayawarman II pendiri imperium Khmer,
memutuskan hubungan dengan Sriwijaya di abad yang sama. Di akhir abad
ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanagara dan Holing
berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula
wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad
ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Di
masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah
utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Setelah
Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada
periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis,
Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih
untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa
kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang
selesai pada tahun 825
Agama
Sebagai
pusat pengajaran Buddha Vajrayana Sriwijaya menarik banyak peziarah dan
sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I
Tsing yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di
Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695. I Tsing melaporkan
bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi
pusat pembelajaran agama Buddha. Pengunjung yang datang ke pulau ini
menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Selain
itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut
berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir abad ke-10, Atiśa, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet dalam kertas kerjanya Durbodhāloka menyebutkan ditulis pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri di Suvarnadvipa.
Kerajaan
Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu
kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Raja-raja Sriwijaya menguasai
kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad
ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta
mengembangkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.
Sangat
dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat
perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan
ulama muslim dari Timur Tengah, sehingga beberapa kerajaan yang semula
merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal
kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya pengaruh
Sriwijaya.
Ada sumber yang
menyebutkan, karena pengaruh orang muslim Arab yang banyak berkunjung
dan berdagang di Sriwijaya, maka seorang raja Sriwijaya yang bernama Sri
Indrawarman pada tahun 718 diduga masuk Islam atau setidaknya tertarik
untuk mempelajari Islam dan kebudayaan Arab, sehingga mungkin kehidupan
sosial Sriwijaya adalah masyarakat sosial yang di dalamnya terdapat
masyarakat Budha dan Muslim sekaligus. Tercatat beberapa kali raja
Sriwijaya berkirim surat ke khalifah Islam di Damaskus, Suriah. Pada
salah satu naskah surat yang ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul
Azzis (717-720) berisi permintaan agar khalifah sudi mengirimkan ulama
ke istana Sriwijaya.
Budaya
Berdasarkan
berbagai sumber sejarah, sebuah masyarakat yang kompleks dan
kosmopolitan yang sangat dipengaruhi alam pikiran budha wajrayana
digambarkan bersemi di ibu kota Sriwijaya. Beberapa prasasti siddhayatra
abad ke-7 seperti Prasasti Talang Tuwo menggambarkan ritual budha untuk
memberkati peristiwa penuh berkah yaitu peresmian taman Sriksetra,
anugerah Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya. Prasasti Telaga Batu
menggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan,
sementara Prasasti Kota Kapur menyebutkan keperkasaan balatentara
Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti ini menggunakan Bahasa Melayu Kuno,
bahasa yang digunakan oleh Sriwijaya ini adalah leluhur Bahasa Melayu
dan Bahasa Indonesia modern. Sejak abad ke-7, bahasa Melayu kuno telah
digunakan di Nusantara, ditandai dengan ditemukannya berbagai prasasti
Sriwijaya dan beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di tempat lain,
seperti yang ditemukan di pulau Jawa. Hubungan dagang yang dilakukan
berbagai suku bangsa Nusantara menjadi wahana penyebaran bahasa Melayu,
karena bahasa ini menjadi alat komunikasi bagi kaum pedagang. Sejak saat
itu, bahasa Melayu menjadi lingua franca dan digunakan secara meluas oleh banyak penutur di kepulauan Nusantara.
Meskipun
disebut memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya
hanya meninggalkan sedikit tinggalan purbakala di jantung negerinya di
Sumatera, sangat berbeda dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah saat
kepemimpinan wangsa Syailendra yang banyak membangun monumen besar;
seperti Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Borobudur. Candi-candi budha yang
berasal dari masa Sriwijaya di Sumatera antara lain Candi Muaro Jambi,
Candi Muara Takus, dan Biaro Bahal, akan tetapi tidak seperti candi
periode Jawa Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di Sumatera
terbuat dari bata merah.
Beberapa
arca-arca bersifat budhisme, seperti berbagai arca budha dan bodhisatwa
Awalokiteswara ditemukan di Bukit Seguntang. Palembang, Jambi, Bidor,
Perak dan Chaiya. Semua arca-arca ini menampilkan keanggunan dan langgam
yang sama yang disebut “Seni Sriwijaya” atau “Langgam/Gaya Sriwijaya”
yang memperlihatkan kemiripan — mungkin diilhami — oleh langgam
Amarawati India dan langgam Syailendra Jawa (sekitar abad ke-8 sampai
ke-9).
Perdagangan
Di
dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan
antara India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas selat Malaka dan
selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka
komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga,
gading, emas, dan timah yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di
India. Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli
kesetiaan dari vassal-vassalnya di seluruh Asia Tenggara.
Selain
menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga
menjalin perdagangan dengan tanah Arab, kemungkinan utusan Maharaja Sri
Indrawarman yang mengantarkan surat kepada khalifah Umar Bin Abdul Aziz
dari Bani Umayyah tahun 718 kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-’o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah buat kaisar Cina, berupa ts’engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab.
Pada
paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya
dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama
Fujian, kerajaan Min dan kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya
Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari
perdagangan ini.
Hubungan dengan wangsa Sailendra
Munculnya keterkaitan antara Sriwijaya dengan dinasti Syailendra dimulai karena adanya nama Śailendravamśa
pada beberapa prasasti di antaranya pada prasasti Kalasan di pulau
Jawa, prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India.
Sementara pada prasasti Sojomerto dijumpai nama Dapunta Selendra. Walau asal-usul dinasti ini masih diperdebatkan sampai sekarang.
Majumdar
berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa)
dan Medang (Jawa), keduanya berasal dari Kalinga di selatan India.
Kemudian Moens menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang,
menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini pindah ke Jawa.
Sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa dinasti ini berasal dari
Nusantara, didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian dikaitkan dengan
beberapa prasasti lain di Jawa yang berbahasa Melayu Kuno di antaranya
prasasti Sojomerto.
Hubungan dengan kekuatan regional
Untuk
memperkuat posisinya atas penguasaan pada kawasan di Asia Tenggara,
Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan
secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti.
Pada
tahun 100 Hijriyah (718 Masehi) Maharaja Sriwijaya bernama Sri
Indrawarman mengirimkan sepucuk surat kepada Kalifah Umar bin Abdul Aziz
dari Kekhalifahan Umayyah yang berisi permintaan kepada Khalifah untuk
mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam
kepadanya. Dalam surat itu tertulis:
Peristiwa
ini membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin hubungan diplomatik
dengan dunia Islam atau dunia Arab. Meskipun demikian surat ini bukanlah
berarti bahwa raja Sriwijaya ini telah memeluk agama Islam, melainkan
hanya menunjukkan hasrat Sang Raja untuk mengenal dan mempelajari
berbagai hukum, budaya, dan adat-istiadat dari berbagai rekan perniagaan
dan peradaban yang dikenal Sriwijaya saat itu; yakni Tiongkok, India,
dan Timur Tengah.
Pada masa awal
kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan
mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan,
sebagai ibu kota kerajaan tersebut, pengaruh Sriwijaya nampak pada
bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan
Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya,
Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.
Sriwijaya
juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti
Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan
sebuah biara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan dinasti Chola di
selatan India juga cukup baik, dari prasasti Leiden disebutkan raja
Sriwijaya di Kataha Sri Mara-Vijayottunggawarman telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma,
namun menjadi buruk setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan
penyerangan di abad ke-11. Kemudian hubungan ini kembali membaik pada
masa Kulothunga Chola I di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan
utusan yang meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada
kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun demikian
pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bahagian dari dinasti
Chola dari kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo)
sebagai raja San-fo-ts’i membantu perbaikan candi dekat Kanton pada
tahun1079, pada masa dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.
Masa keemasan
Kemaharajaan
Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim, mengandalkan hegemoni pada
kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur
perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai
pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang,
memungut cukai serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.
Dari
catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah
melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara,
antara lain: Sumatra, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailan, Kamboja,
Vietnam, dan Filipina. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda,
menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan
perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat.
Sriwijaya mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang
perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.
Sriwijaya
juga disebut berperan dalam menghancurkan kerajaan Medang di Jawa,
dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram
yang kemungkinan merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau
1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir
Dharmawangsa Teguh.
Masa penurunan
Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya, berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh1030, kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama beberapa dekade berikutnya seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya. Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts’i ke Cina tahun 1028.
Namun
demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari
dinasti Chola, dari kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079,
Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) raja dinasti Chola disebut
juga sebagai raja San-fo-ts’i, yang kemudian mengirimkan utusan untuk
membantu perbaikan candi dekat Kanton. Selanjutnya dalam berita Cina
yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi
pada tahun 1082 masih mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah
pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat
dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari
putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan
pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga
mengirimkan utusan berikutnya di tahun 1088. Pengaruh invasi Rajendra
Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah,
beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya
sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan
Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa
bagian barat.
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua
menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang
sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts’i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia
menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan
rakyat San-fo-ts’i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang
meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasura), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t’ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts’ien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t’a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri diAceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t’o (sunda).
Namun demikian, istilah San-fo-tsi
terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan
telah identik dengan Dharmasrata, dari daftar 15 negeri bawahan
San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan kerajaan Dharmasraya,
walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang
berada di kawasan laut Cina Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton
telah menyebutkan Malayu, disebutkan Kertanagara raja Singhasari
mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu, dan kemudian
menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja
Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis padaprasasti
Padang Roco. Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang
terdapat padaprasasti Gradi. Begitu juga dalam Nagarakretagama, yang
menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit juga sudah tidak
menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk kawasan yang sebelumnya merupakan
kawasan Sriwijaya.
Struktur pemerintahan
Pembentukan
satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya,
dapat dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung informasi penting
tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi.
Kadātuan dapat bermakna kawasan datu, (tnah rumah) tempat tinggal bini hāji, tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga. Kadātuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang didalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. MenurutCasparis, samaryyāda merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadātuan Sriwijaya.
Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra
(pewaris berikutnya). Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai
jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya.
Raja yang memerintah
Para Maharaja Sriwijaya.
Tahun | Nama Raja | Ibukota | Prasasti, catatan pengiriman utusan ke Tiongkok serta peristiwa |
671 | Dapunta Hyang atau Sri Jayanasa | SrivijayaShih-li-fo-shih | Catatan perjalanan I Tsing di tahun 671-685, Penaklukan Malayu, penaklukan JawaPrasasti Kedukan Bukit (683), Talang Tuo (684), Kota Kapur (686), Karang Brahi dan Palas Pasemah. |
702 | Sri IndrawarmanShih-li-t-’o-pa-mo | SriwijayaShih-li-fo-shih | Utusan ke Tiongkok 702-716, 724Utusan ke Khalifah Muawiyah I dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz |
728 | Rudra VikramanLieou-t’eng-wei-kong | SriwijayaShih-li-fo-shih | Utusan ke Tiongkok 728-742 |
743-774 | Belum ada berita pada periode ini | ||
775 | Sri Maharaja | Sriwijaya | Prasasti Ligor B tahun 775 di Nakhon Si Thammarat, selatan Thailand dan menaklukkan Kamboja |
Pindah ke Jawa (Jawa Tengah atauYogyakarta) | Wangsa Syailendra mengantikan Wangsa Sanjaya | ||
778 | Dharanindra atau Rakai Panangkaran | Jawa | Prasasti Kelurak 782 di sebelah utara kompleks Candi PrambananPrasasti Kalasan tahun 778 di Candi Kalasan |
782 | Samaragrawira atau Rakai Warak | Jawa | Prasasti Nalanda dan prasasti Mantyasih tahun 907 |
792 | Samaratungga atau Rakai Garung | Jawa | Prasasti Karang Tengah tahun 825 menyelesaikan pembangunan candi Borobudur |
840 | Kebangkitan Wangsa Sanjaya, Rakai Pikatan | ||
856 | Balaputradewa | Suwarnadwipa | Kehilangan kekuasaan di Jawa, dan kembali ke SuwarnadwipaPrasasti Nalanda tahun 860, India |
861-959 | Belum ada berita pada periode ini | ||
960 | Sri Udayadtya WarmadewaSe-li-hou-ta-hia-li-tan | SriwijayaSan-fo-ts’i | Utusan ke Tiongkok 960, & 962 |
980 | Utusan ke Tiongkok 980 & 983: dengan raja, Hie-tche (Haji) | ||
988 | Sri Cudamani WarmadewaSe-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa | SriwijayaMalayagiri (Suwarnadwipa) San-fo-ts’i | 990 Jawa menyerang Sriwijaya, Catatan Atiśa,Utusan ke Tiongkok 988-992-1003, pembangunan candi untuk kaisar Cina yang diberi nama cheng tien wan shou |
1008 | Sri Mara-VijayottunggawarmanSe-li-ma-la-pi | San-fo-ts’iKataha | Prasasti Leiden & utusan ke Tiongkok 1008 |
1017 | Utusan San-fo-ts’i ke Tiongkok 1017: dengan raja, Ha-ch’i-su-wa-ch’a-p’u (Haji Sumatrabhumi (?)); gelar haji biasanya untuk raja bawahan | ||
1025 | Sangrama Vijayottunggawarman | SriwijayaKadaram | Diserang oleh Rajendra Chola I dan menjadi tawananPrasasti Tanjore bertarikh 1030 pada candi Rajaraja, Tanjore, India |
1030 | Dibawah Dinasti Chola dari Koromandel | ||
1079 | Utusan San-fo-ts’i dengan raja Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) ke Tiongkok 1079 membantu memperbaiki candi Tien Ching di Kuang Cho (dekat Kanton) | ||
1082 | Utusan San-fo-ts’i dari Kien-pi (Jambi) ke Tiongkok 1082 dan 1088 | ||
1089-1177 | Belum ada berita | ||
1178 | Laporan Chou-Ju-Kua dalam buku Chu-fan-chi berisi daftar koloni San-fo-ts’i | ||
1183 | Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa | Dharmasraya | Dibawah Dinasti Mauli, Kerajaan Melayu, Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand |
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar